Selasa, 28 April 2009

NILAI RELIGI ISLAM DALAM NASKAH SERAT PAMULAR SEBAGAI CERMINAN JATI DIRI MASYARAKAT JAWA

Nilai Religi Islam dalam Naskah Serat Pamular
sebagai Cerminan Jati Diri Masyarakat Jawa


oleh:
NUR FADHILAH
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Malang angk. 2006


1. Pendahuluan
Suatu karya sastra diciptakan oleh pengarang tentu memiliki tujuan yang ingin disampaikan pada pembaca. Tujuan-tujuan itu dapat berbentuk ajaran berupa nilai-nilai luhur seperti nilai sosial, budaya, edukatif, maupun nilai religi.

Dalam karya sastra Jawa biasanya mengandung nilai-nilai luhur di dalamnya. Seperti halnya nilai-nilai religi yang terdapat dalam tembang Ilir-ilir, Cublak-cublak Suwung, Sluku-sluku Bathok, dan sebagainya yang memang sengaja digunakan para ulama’ terdahulu (waliyullah) sebagai sarana dakwah untuk menyebarkan agama Islam.

Bertolak pada kenyataan di atas, dalam dalam penelitian ini akan mengkaji salah satu naskah Jawa yang berjudul ”Serat Pamular”. Karya sastra ini berbentuk naskah bermedium bahasa krama inggil, yang ditulis di Solo pada tahun 1924 oleh Boekhandel M. Tanojo. Naskah ini terdiri dari 13 halaman dengan memakai kertas Eropa. Naskah ini hanya menggunakan kuras di halaman sampulnya saja. Gaya penulisan dalam naskah ini berupa aksara Jawa gaya Jogja. Tampak pada gaya tulisannya yang berbentuk agak bulat yang biasa disebut gaya ngetumbar.
Serat Pamular merupakan naskah asli Jawa berisikan petuah-petuah bijak yang sangat agung nilainya. Naskah tersebut menceritakan tentang arti kehidupan dengan segala macam rintangan dan keinginan manusia yang tak terbatas, sehingga mempunyai nilai yang luhur. Aspek religiusitas yang mendominasi naskah Jawa ini, sepertinya sengaja diciptakan oleh pengarang untuk menunjukkan betapa luhurnya masyarakat Jawa yang memang dikenal sebagai masyarakat yang beragama dan meyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Arti menahan diri banyak dimuat dalam naskah ini.

”Serat Pamular” layak dikaji dan diangkat ke permukaan karena banyak mengungkap nilai luhur, terutama nilai religi. Dengan adanya nilai religi Islam yang akan diangkat tersebut, diharapkan dapat digunakan sebagai cerminan jati diri masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.

Serat Pamular adalah sebuah naskah yang berisi petuah-petuah tentang suatu kekuatan atau usaha yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam menjalani hidup ini. Di dalamnya terdapat berbagai uraian mengenai bagaimana perbuatan tulus itu dilakukan, bagaimana cara berbuat kebajikan, dan bagaimana menyikapi sebuah cita-cita dan keinginan yang tak tercapai. Serat Pamular merupakan salah satu jawaban sekaligus petunjuk tentang bagaimana mengobati hati yang luka dan perih yang disebabkan oleh cita-cita dan keinginan yang tak dapat diraih. Hal itu dapat dilihat dalam pembukaan Serat Pamular seperti di bawah ini.

Wiyosipun ing donya kathah sanget tiyang ingkang gadah sedya punapa kosen saget kasembadan wekasan lajeng cuwa tuwir gela penggalihipun malah ingkang boten kuwawi sabil wanahipun kekadhang kalampahan pejah gayud luwuh label saking sampun rumaos wiring wonten ing donya... Wonten ingkang saras, wonten ingkang boten saras. Ingkang saras sabab panyakitipun kawon kaliyan dayaning jajampi.... Ing ngrika manungsa saget manggih dadamel ngalupi kangge ngangkah kasembadating sedya. Menggah kawontenipun kados ingkang kapralelakaken wonten ing babar ripun serat pamular punika (Serat Pamular, gambuh: 4)

Terjemahannya:
Di dunia sangat banyak orang yang mendapat apa yang ia inginkan. Tapi akhirnya hanya kekecewaan dan ketidakpuasan hati yang ia dapat. Bahkan yang tidak kuat sakit hatinya. Terkadang sampai mati karena rasa malu di dunia... Perumpamaannya seperti penyakit yang diobati. Ada yang sembuh ada yang tidak, karena penyakit itu kalah dengan obat... Disana manusia bisa menemukan apa saja guna mencapai tujuan yang ia inginkan. Sebagaimana yang tersirat dalam surat pamular ini (Surat Pamular, hal. 4)

Dalam Serat Pamular ini banyak ditemukan kata ‘menahan diri’ yang sengaja ditulis oleh pengarang. Pengarang menjadikan menahan diri sebagai salah satu usaha untuk menghindarkan diri dari perasaan terluka, tidak berguna, dan rasa pahit lain yang dialami oleh manusia jika memperoleh kekecewaan. Keprihatinan pengarang dalam melihat fenomena ini sangat nampak dalam karya luhurnya ini.

Menahan diri merupakan usaha untuk mewujudkan sikap yang mau menerima, baik dalam hal menerima cobaan, musibah, maupun bencana. Tentunya jika kita dalam keadaan yang sama sekali tidak diinginkan, menahan diri menjadi salah satu momok yang sama sekali tidak kita inginkan. Kita akan lebih senang meratapi nasib, mengeluh dan menangis tersedu-sedu hingga mengeluarkan air mata darah daripada menahan diri. Kita lebih baik marah apabila dicemooh orang lain daripada menerima dan bersabar atas ejekan orang lain pada kita. Kita lebih baik dengki dan iri hati jika melihat orang lain bahagia daripada menangis meratapi nasib sendiri. Hal itu disebabkan karena menahan diri bukanlah merupakan hal yang mudah. Hanya orang yang memiliki kebulatan tekad, kelurusan niat, ketulusan batin, dan kesabaran lah yang dapat melalui berbagai rintangan dan godaan dalam menahan diri ini.

Nelangsa punika salebeting batos lelampahandipun menulas sanget awit kalebeta anglampahika sisah ananging kang ageng... Perkawis lampah panalangsa dede dede amrahipun, menawi mboten tiyang sarapun bunder tekadipun, mboten badhe kacanggah anggebyar dating panalangsa (Serat Pamular, gambuh:5)

Terjemahannya:
Menahan diri itu dilakukan dalam hati dengan susah payah yang merupakan hasil dari usaha keras... Menahan diri memang sangat berat. Jika bukan orang yang bertekad bulat, tidak akan tercapai kemauan untuk menahan diri (Surat Pamular, hal. 5)

Menahan diri memang sangatlah sulit. Namun, bukan berarti dengan sulitnya menahan diri kita tidak mampu melakukannya. Sebenarnya menahan diri merupakan salah satu usaha bagaimana kita mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa. Apabila kita mampu melaksanakan amalan luhur ini, maka kita akan sangat mudah memperoleh petunjuk dari-Nya.
Ewadene panyaketipun manungsa dhateng Pangeran kedah mapicikna sarana panalangsan ing ngrika saweg angsal pauntahing Pangeran (Serat Pamular, gambuh:9)

Terjemahan:
Walaupun kebiasaan manusia kepada Allah harus diterapkan dengan menahan diri, barulah mendapat petunjuk dari-Nya (Surat Pamular, hal. 7)
Berbagai perwujudan dari menahan diri yang disebutkan dalam Serat Pamular, antara lain: (1) tidak berbicara sesuatu dengan tujuan yang buruk dan mengandung nilai yang negatif, (2) tidak memperlihatkan kesenangan yang berlebihan hingga tertawa terbahak-bahak, (3) bergaul dengan sewajarnya, (4) setiap kemauan yang baik disertai dengan niat yang baik, (5) tidak sombong dan mengaku penguasa, (6) tidak berprasangka buruk, dan (7) selalu mengingat dan berdo’a kepada Yang Maha Kuasa.

2. Nilai Religi Islam
Setelah sedikit mengulas naskah Jawa kuno yang berjudul ”Serat Pamular”, maka dapat diketahui dengan jelas bahwa di dalamnya terdapat banyak unsur-unsur nilai religi. Dalam hal ini, pengarang sengaja menjadikan ”menahan diri” sebagai suatu amalan yang mewadahi amalan-amalan lain di bawahnya. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa ada berbagai perwujudan dari menahan diri, antara lain: (1) tidak berbicara sesuatu dengan tujuan yang buruk dan mengandung nilai yang negatif, (2) tidak memperlihatkan kesenangan yang berlebihan hingga tertawa terbahak-bahak, (3) bergaul dengan sewajarnya, dan sebagainya. Berbagai aspek yang merupakan perwujudan menahan diri di atas, akan kita ulas lebih lanjut dengan mengaitkannya dalam ayat suci Al-Qur’an dan Hadits di bawah ini.

2.1 Tidak berbicara buruk

Lidah mempunyai jabatan yang penting dalam kehidupan manusia. Dengan tutur lidah yang baik, maka orang dapat hidup aman dan damai. Sebaliknya apabila lidah digunakan untuk berbicara pada hal-hal yang buruk, maka yang terjadi adalah banyaknya orang yang bermusuhan. Berbicara buruk seperti mencela, berbantah-bantahan, bertukarpikiran yang tidak tentu ujung permasalahannya, bermusuhan dengan mulut, mengutuk, mengejek, menghina, dan sebagainya tidak lain adalah hanya menciptakan keadaan yang sangat tidak menyenangkan. Orang yang berbicara buruk hanyalah dapat melahirkan kerusakan dan menambah kelipatan dosa.
Saleh bin Abdul Kudus menciptakan sebuah syair seperti di bawah ini.

”Peliharalah lidahmu dan jagalah lafalnya, maka manusia dapat selamat dan marah dengan lidahnya.”

”Peliharalah lidahmu, kecuali mengenai hal yang lebih baik, karena sesungguhnya engkau dengan begitu telah mengalahkan setan.” (H.R Tibrani)
Serat Pamular sangat jelas menyebutkan larangan berbicara negatif dalam kutipannya di bawah ini.

Tiyang nalangsa prasasat boten kenging wicanten ngedalaken wicanten lajeng rumaos dosa. Dene tansah boten tundhuk raosing manah. Kaliyan ingkang naggap pinginen rumaos boten kenging gadhah tanjak boten kenging mengku, boten kenging ngero, boten kenging gumujeng, punapa dene suka suka sasaminipun (Serat Pamular, gambuh:5)

Terjemahan:
Orang menahan diri tidak bisa berbicara bohong, apalagi yang tidak cocok dengan kata hatinya. Yang ia rasakan ialah berdoa. Dan ia menganggap bahwa pembicaraan tidak boleh punya tujuan miring atau negatif, tertawa apalagi senang-senang dengan sesamanya (Surat Pamular, hal.5)

Serat Pamular merupakan naskah yang sangat jelas sekali ingin menggugah watak atau tabiat manusia agar tidak berbicara buruk. Hal ini dikarenakan berbicara buruk merupakan salah satu hal yang dapat menjadikan hati orang yang mendengarnya rusak dan merupakan salah satu bentuk kotornya jiwa. Maka, seseorang hendaknya menahan diri dalam berbicara buruk. Betapa pun sakitnya hati kita, hendaknya jangan sekali-kali kita membalas dengan ucapan yang buruk.

2.2 Tidak bersenang berlebihan
Senang dan gembira adalah hal yang sangat diidamkan oleh setiap manusia. Kegembiraan dan kesenangan merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya. Hal ini dikarenakan tidak semua orang dapat bergembira. Ada yang sedang dalam keadaan susah, sedih, dilanda duka, dan hal lain sebagainya. Orang yang sedang bersenang hati biasanya mudah tertawa.

”Tertawa adalah naluri yang mempunyai nilai yang besar dalam kehidupan perseorangan serta kehidupan masyarakat” (Al-Hufy, 1985:461). Selain tertawa dapat menimbulkan orang lain ikut senang, tertawa juga dapat menyebabkan orang lain merasa terganggu. Tertawa yang dapat menimbulkan kesenangan orang lain biasanya merupakan tertawa yang dapat menggembirakan dan menghibur hati mereka. Sedangkan tertawa yang dapat menyebabkan orang lain merasa terganggu biasanya ialah tertawa yang mengejek dan menghina mereka.

Allah S.W.T sangat menyukai kegembiraan dan kesenangan para hamba-Nya. Kegembiraan yang menyebabkan hamba-Nya tersenyum dan menyebabkan bertambahnya rasa syukur mereka terhadap-Nya. Namun, Allah S.W.T sangat membenci hamba-Nya yang bersenang-senang berlebihan. Hal ini dikarenakan senang yang berlebihan dapat menjadikan kerasnya hati dan tipisnya iman.

“Biarkanlah mereka (di dunia ini) Makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), Maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)” (Q.S Al-Hijr: 3)

“Agar mereka mengingkari nikmat yang telah Kami berikan kepada mereka dan agar mereka (hidup) bersenang-senang (dalam kekafiran). kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya)” (Q.S Al-Ankabut:66)

Orang yang bersenang berlebihan biasanya sering lupa kepada Allah S.W.T. Mereka sering terhanyut dalam kesenangan dan kegembiraan daripada bersyukur dan ingat kepada Allah S.W.T.

Nanging tiyang nalangsa mboten gagi salisih sarawungan kaliyan sesami ning ngangesaning namung salebetipun adeging panalangsa, inggih punika sampun tingal kingarang salahbawa anggenipun mangun suka (Serat Pamular, gambuh: 5-6)

Terjemahan:
Tetapi orang yang berpuasa batin juga masih bergaul dengan sesamanya. Hanya selama bergaul jangan sampai kita memperlihatkan kesenangan yang berlebih, karena kita harus menahan diri (Surat Pamular, hal.5)

Seperti halnya yang disebutkan dalam Serat Pamular bahwa sebagai manusia hendaknya tidak bersenang secara berlebihan. Salah satu cara untuk menghindari hal ini ialah dengan menahan diri. Menahan diri dapat mengingatkan kita saat berada dalam keadaan senang yang berlebihan. Dalam keadaan senang seperti itu, kita akan segera menahan kesenangan yang berlebihan itu dengan cepat mengingat Allah S.W.T. Maka, bersenanglah dengan sewajarnya.

2.3 Pergaulan yang wajar
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia perlu bergaul. Bergaul dapat menjadikan orang saling mengenal, saling bekerja-sama, saling bertukar pikiran, dan saling menghargai satu sama lain. Bergaul juga dapat menjadikan bertambahnya wawasan dan ilmu pengetahuan. ”Bergaul ialah hidup bersama-sama” (Mayhur, 1987:142)

Permasalahan dalam hal ini ialah bagaimana bentuk pergaulan yang wajar itu. Pergaulan yang wajar adalah pergaulan yang tidak berlebihan, sopan, serta memiliki nilai-nilai pergaulan yang baik. Berhubung manusia tidak semuanya sama, maka pergaulan juga terbentuk dalam wujud yang berbeda-beda. Bila tiap orang hanya memperhatikan keinginannya sendiri, maka yang akan terjadi ialah pertengkaran dan saling bermusuhan. Untuk mendapatkan kesamaan tersebut di atas, maka manusia hendaknya mengetahui batas-batas pergaulan yang boleh dilakukan dan yang tidak diperbolehkan.

Ukuran pergaulan yang wajar dengan orang lain sebenarnya ada dalam diri kita sendiri. Jika kita tidak menyukai hinaan orang lain, maka jangan lah kita menghina orang lain. Apabila kita ingin dihormati orang lain, maka terlebih dahulu kita harus menghormati orang lain. Begitu pula seterusnya. Di bawah ini dikutip salah satu ayat Al-Qur’an tentang cara bergaul Nabi Muhammad saw.

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S Ali-Imron: 159)

Dalam Serat Pamular disebutkan kutipannya sebagai berikut.
Punika kedah kareksa ingkang sanget, mboten kenging ngarah apa. Dene lumrahing agesang sarawungan inggih sampun ngrisak tata tuwin ngewahi cara (Serat Pamular, gambuh:6)

Terjemahan:
Semuanya berbatas dan tidak bisa seenaknya. Sebagaimana sewajarnya bergaul jangan sampai merusak atau merubah tatanan (Surat Pamular, hal.5)

Adapun ayat Al-Qur’an yang memerintahkan kita untuk bergaul dan berbuat baik kepada orang lain tersebut di bawah ini.

”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (Q.S An-Nisa’: 36)

Pergaulan yang wajar memang sudah seharusnya dilakukan. Bergaul secara wajar berarti menahan diri dengan tujuan untuk dapat menghindarkan diri dari segala bentuk permusuhan dan pertengkaran akibat rasa iri hati, dengki, amarah, angkara murka, dan lain sebagainya.

2.4 Niat yang baik
Suatu perbuatan yang baik, biasanya disertai dengan niat yang baik pula. Niat yang baik berasal dari jiwa yang bersih dan suci. Jiwa datangnya dari akal pikiran seseorang. Apabila ia berpikir dan memilih mana yang baik, maka niat yang baik akan ikut berada dalam jiwanya. ”Seandainya manusia menggunakan akal mereka untuk menangani urusan-urusannya, maka tidak seorang pun yang akan melakukan maksiat” (Al-Balali, 2003: 34).

Niat sumbernya amal perbuatan. Orang yang melakukan sesuatu dengan disertai niat, maka ia akan tergolong sebagai orang yang beriman.

Makaten ugi sanddyan sampun angsal kasarengan dening asik inggih katen kadadosan. Dados keasen kadaning sedya punika kedah manawi sampun utawi wisik ingkang sampun nunggil kaliyan asik ing ngriken lajeng kateremah panuwunipun sarta luwat saking panalangsa (Serat Pamular, gambuh:6)

Terjemahan:
Begitu juga walaupun sudah mendapat petunjuk tapi kalau belum bersamaan dengan niat ya tidak bisa tercapai. Jadi kemauan yang dituju harus ada niat bersamaan dengan petunjuk (Surat Pamular, hal.5)

Disebutkan dalam Serat Pamular bahwa untuk menahan diri, manusia harus memiliki niat terlebih dahulu. Menahan diri tidak akan terjadi apabila manusia belum memiliki niat untuk menahan dirinya dari hawa nafsu. Maka, perbuatan yang baik disebabkan oleh niat yang baik, sedangkan perbuatan buruk disertai dengan niat yang buruk.

”Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh, tiada lain ia adalah hati.” (H.R Muslim)

2.5 Tidak sombong
”Sombong atau takabbur ialah membesar-besarkan diri dengan anggapan serba sempurna dan tidak mau menerima kebenaran orang lain” (Masyhur, 1987:360).
Dijelaskan dalam Serat Pamular bahwa untuk menahan diri, salah satu cara ialah tidak sombong atau merasa berkuasa atas sesuatu.

Manungsa utawi kuasaning Pangeran kapralilakaken boten liya namung kangge pepenget supaos para manungsa sampun ngantos ngaken kuwasa (Serat Pamular, gambuh:9)

Terjemahan:
Manusia dengan kuasa Allah sama ibaratkan tidak lain hanya untuk diingat supaya para manusia jangan sampai mengaku kuasa (Serat Pamular, hal.8)

Manusia tidak dapat menahan dirinya salah satu penyebabnya karena masih ada rasa sombong dalam dirinya. Sombong dapat dicontohkan dengan adanya perasaan yang merasa sudah banyak memiliki ilmu, merasa sudah banyak beribadah, memiliki harta kekayaan, memiliki kemewahan, memiliki wajah cantik dan bersuami tampan, dan lain sebagainya. Kesombongan-kesombongan di atas tidak lain hanyalah menjadikan diri kita jauh dari Allah S.W.T dan menjadikan diri kita hina di hadapan-Nya.

“Tidak diragukan lagi bahwa Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong.” (Q.S An-Nahl: 23)

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”(Q.S Luqman: 18)

Sesungguhnya, tidak ada yang patut disombongkan dari seorang manusia. Manusia itu tempatnya kelemahan, kesalahan, dan kebodohan. Hanya Allah S.W.T yang berhak untuk sombong, karena Dia lah Sang Penguasa alam dan seluruh isinya. Dengan menghindarkan diri dari sifat sombong dan takabbur di atas, maka kita akan menjadi salah satu hamba-Nya yang bertakwa.

2.6 Tidak berprasangka buruk
Prasangka buruk adalah suatu pikiran jahat yang dapat menimbulkan hal-hal yang buruk pula. Prasangka buruk merupakan sumber dari kotornya jiwa dan bodohnya akal. Orang yang berprasangka buruk tidak dapat memilih mana yang seharusnya layak ia pikirkan dan mana yang tidak seharusnya patut ia pikirkan. Orang yang berprasangka buruk semasa hidupnya akan terkekang dalam keragu-raguan, kegelisahan, dan kekhawatiran. Prasangka buruk tidak lain hanya akan merugikan orang.

”Berprasangka buruk ialah menilai dengan perkataan dan perbuatan orang lain tanpa bukti” (Masyhur, 1987:212). Sesuai dengan kutipan ini, sangatlah tidak baik apa yang disebut dengan berprasangka buruk itu. Hal ini dapat dicontohkan dengan adanya fitnah dan tuduhan. Jika kita difitnah melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak kita kerjakan, maka betapa sakitnya hati kita saat itu. hati kita seakan tersayat mendengar semua pernyataan yang tidak benar. Hati kita akan menangis jika mendengar semua pertanyaan yang tidak seharusnya berhak kita jawab. Fitnah atau tuduhan itu sebenarnya bersumber dari prasangka buruk seseorang. Seperti yang disebutkan dalam kitab suci Al-Qur’an di bawah ini.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Hujurat:12)

Dalam Serat Pamular sangat jelas disebutkan:
Mpun ngantos kecampuran raos ingkang anjagaraken sedya menggah ingkang kapra manakaken salebetipun metu naming gatra ning sarira ingkang kawang wang ing dalem raos, sarta andelng ngaken surasing sasmita.

Terjemahan:
Jangan sampai bercampur dengan prasangka. Misalnya selama mengasingkan diri hanya melamun, serta diupayakan untuk berhati-hati.

Prasangka buruk hanya dapat dilakukan dengan menahan diri. Orang yang dapat menahan dirinya dari pikiran-pikiran yang tidak baik serta berusaha berpikir positif, maka kemenangan jiwa lah yang akan ia dapat.

2.7 Sabar
Sudah menjadi sifat manusia apabila tidak mampu menahan diri secara sempurna. Hal ini dikarenakan manusia adalah ladangnya dosa dan segala kesalahan. Salah satu cara menahan diri yang baik adalah dengan bersabar.

”Menurut Imam Ghozali, sabar ialah tahan menderita gangguan dan tahan menderita ketidaksenangan orang. Sabar itu kokohnya dorongan agama dalam menghadapi dorongan hawa nafsu” (Al-Hufy, 1978: 208). Sabar berarti menerima segala sesuatu yang sudah digariskan. Sabar berarti tidak marah, tidak mudah tersinggung, tidak mudah membenci, dan lain sebagainya.

”Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (inilah) suatu pelajaran yang cukup, Maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (Q.S Al-Ahqof: 35)

Sabar merupakan salah satu amalan yang utama. Hal ini disebabkan karena sabar tidaklah mudah untuk dilakukan oleh setiap orang. Tidak semua orang dapat bersabar dalam melaksanakan perintah Allah, tidak semua orang dapat bersabar dalam menentang hawa nafsu. ”Sabar ialah tetap dalam cita-cita dalam melaksanakan agama Islam, karena dorongan agama dan menentang kemauan hawa nafsu” (Masyhur, 1987: 393). Sabar ialah tonggaknya iman.
Orang yang mampu bersabar berarti dapat menanggulangi atau mengurangi tekanan atas dirinya dengan semangat dan usaha keras. Ia akan mendekatkan diri pada Allah S.W.T dengan mengerjakan semua yang diperintahkan atas-Nya. Ia akan bekerja keras melawan hawa nafsunya, serta selalu berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Ia juga selalu optimis dapat mencapai hasil yang diinginkan.

“Hai orang-orang yang beriman, Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqoroh: 153)
”Sabar ialah berhati-hati dalam bertindak, tetapi berusaha terus dengan ketetapan hati yang teguh sehingga tercapai cita-cita atau hasil yang diharapkan” (Darajat, 1977:85)
Seperti yang tertera dalam Serat Pamular bahwa hendaknya manusia dapat menahan dirinya. Dalam hal ini menahan diri sangat erat kaitannya dengan bersabar. Orang yang bersabar berarti mampu menahan dirinya dari segala rintangan dan godaan. Dapat menghadapi kegagalan dengan bersabar adalah suatu usaha menahan diri yang amat dimuliakan.

2.8 Memohon kepada Allah S.W.T
Setiap manusia harus berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kebutuhan-kebutuhan tersebut perlu dipenuhi agar dapat dijadikan alat pencapai kemuliaan. Dalam setiap usaha, perlu disertai kepercayaan bahwa Tuhan selalu menyertainya.

Segala bentuk perwujudan menahan diri di atas memang merupakan usaha yang tidak mudah. Diperlukan usaha dan kemauan keras untuk melaksanakan hal-hal di atas yang juga merupakan suatu hal yang diperintahkan Allah S.W.T. Apabila niat sudah terbentuk dan usaha telah dilakukan, maka selanjutnya memohon dan berserah diri kepada Allah lah yang menjadi usaha akhir manusia. Hal ini disebabkan karena hanya Dia lah tempatnya kembali. Semua ketetapan dan kepastian hanya bertumpu pada-Nya. ”Berusaha dengan tekad selamat dari segala rintangan karena penuh kepercayaan kepada Tuhan dinamakan tawakkal” (Darajat, 1977: 16).

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S Ali-Imron: 159)

“Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah Mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Q.S Ath-Tholaq: 3)
Memohon dan mengingat kepada Allah S.W.T dapat dijelaskan dalam isi naskah Serat Pamular di bawah ini.

Sajatasipun manusa perlu sanget kadah enget dating pangeran punika ingkang langkung kuwasa ing jagad boten wonten ingkang nyameni. Mila wajib sinembah saladipun sungkem miling donya ing ngakerat (Serat Pamular, gambuh:7)

Terjemahan:
Semestinya manusia harus ingat kepada Yang Kuasa. Tidak ada yang menyamai, Karen aitu wajib disembah baik dunia maupun akhirat. Semoga selamat dunia maupun akhirat (Surat Pamular, hal.6)

Serat Pamular menjelaskan melalui petuahnya bahwa hendaknya manusia menahan diri, serta memohon pada Tuhannya agar ia mendapatkan selamat dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Seluruh akhir dari usaha manusia tidak lain hanyalah Allah yang menetapkan. Entah ia berhasil dalam usahanya itu, entah ia gagal. Maka, yang wajib dilakukan oleh manusia ialah bertawakkal kepada Allah S.W.T, Sang Maha Penguasa.

3. Keterkaitan Nilai Religi dalam ”Serat Pamular” dengan Jati Diri Masyarakat Jawa

Setelah kita menyimak beberapa penjelasan mengenai nilai-nilai religi dalam Serat Pamular di atas, maka dapat digambarkan bahwa ada keterkaitan antara nilai religi tersebut dengan jati diri masyarakat Jawa.

Masyarakat Jawa, selain dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kehormatan, juga dikenal sebagai masyarakat yang beragama. Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi kehormatan dapat dibuktikan dengan unggah-ungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. Unggah-ungguh tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk jati diri masyarakat Jawa yang dapat dicerminkan dalam sikap, perilaku, pemikiran, dan totalitas kepribadian mereka. Sedangkan sebagai masyarakat yang beragama dapat dibuktikan dari salah satu sifat mereka yang bertuhan atau religius. ”Sebelum agama-agama besar datang ke Indonesia, khususnya Jawa, mereka sudah mempunyai kepercayaan adanya Tuhan yang melindungi dan mengayomi mereka” (Jamil, 2000:85).

Salah satu faktor pembentukan jati diri masyarakat Jawa ialah adanya faktor agama. Agama Islam sangat berpengaruh dalam pembentukan jati diri mereka. Dibuktikan sejak adanya peranan wali songo yang mendakwahkan agama Islamnya di Jawa, sehingga sampai saat ini agama Islam dapat menjadi agama terbesar di Pulau Jawa.

Dalam Serat Pamular disebutkan bahwa karasaning daya (kekuatan usaha) hanya dapat dicapai jika manusia mampu melakukan panalangsa (menahan diri). Serat Pamular yang memiliki semboyan ”Pakartining Manah Angesthi Sukma” (Perbuatan yang tulus dari hati) dan ” Pakarti tinata esdining lannanya” (Berbuat kebaikan tiada terhenti) yang merupakan cerminan jati diri masyarakat Jawa, sangat berkaitan erat dengan ajaran-ajaran agama Islam.

Pakartining Manah Angesthi Sukma. Islam mengajarkan bahwa hendaknya manusia selalu ikhlas dalam melakukan suatu kebajikan. Ikhlas merupakan suatu ketulusan dalam hati seseorang dalam melakukan suatu kebaikan dengan hanya mengharap ridho Allah S.W.T. Perintah ikhlas disebutkan dalam firman Allah S.W.T di bawah ini.

"1. Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu (ikhlas)?,
2. Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu" (Q.S Al-Insyiroh:1-2)

Pakarti tinata esdining lannanya. Sesuai dengan maknanya ”berbuat kebaikan tiada terhenti”, juga sangat berkaitan dengan nilai-nilai religi Islam. islam mengajarkan bahwa setiap manusia hendaknya selalu berbuat kebaikan semasa hidupnya. Hal ini bisa dijadikan sebagai sangune mati (bekalnya mati). Orang yang telah meninggal tidak akan membawa apa pun semasa hidupnya, kecuali hanya amal perbuatannya selama di dunia. Amal perbuatannya itulah yang akan menentukan dimana ia akan diletakkan. Entah di surga atau neraka. Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan pada setiap umatnya agar selalu berbuat amal kebaikan tiada henti.

“Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqoroh:148)

Masyarakat Jawa dikenal dengan masyarakat yang bertatakrama luhur serta mampu mengendalikan diri dalam keadaan suatu apapun. Sudah bukan merupakan hal yang tabu apabila kita mengenal masyarakat Jawa sebagai masyarakat yang penuh dengan kesopanan, tidak pemarah, serta mampu mengendalikan emosinya. Panalangsa (menahan diri) dalam Serat Pamular merupakan salah satu pembuktian bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang penuh dengan sifat keluhuran.

Wong Jawa iku nggoning rasa, padha gulangen ing kalbu, aing samita amrih lantip, kuwono nahan howa, kinemat mamoting driyo (Orang Jawa tempatnya di perasaan, mereka selalu bergulat dengan kalbu atau suara hati, agar pintar dalam menangkap maksud yang tersembunyi dengan jalan menahan hawa nafsu sehingga akal dapat menangkap maksud yang sebenarnya) (Muslich, 2006:219).

Panalangsa (menahan diri) dapat dicontohkan dengan mengendalikan sikap adigang, adigung, dan adiguna. Ketiga sikap itu merupakan bentuk dari suatu kesombongan yang dipastikan tidak akan hidup selamat dan akan mati bersama-sama dengan keburukannya.
Oleh karena itu sikap adigang, adigung, dan adiguna harus dipadamkan......lambang adigang adalah kijang yang mengendalikan gestinya waktu melompat, lambang adigung adalah gajah yang mengandalkna kebesaran dan kehebatan tubuhnya, serta adiguna ialah lambang ular yang mengandalkan kemujaraban bisa racunnya... (Muslich, 2006:220).

Ketiga sikap tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu contoh dimana seharusnya masyarakat Jawa meninggalkannya. Dengan melakukan panalangsa, maka masyarakat Jawa sudah menjadi masyarakat yang mencerminkan jati dirinya, sekaligus menerapkan nilai-nilai religi dalam karya sastra Jawa Serat Pamular.


DAFTAR PUSTAKA

Aasysyuravoice.blogspot.comsysyuravoice.blogspot.com

Al-Balali, Hamid. 2003. Madrasah Pendidikan Jiwa. Jakarta: Gema
Insani.


Al-Bilali, Abdul Hamid. 2000. Penyucian Jiwa. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.


Al-Hufy, Ahmad Muhammad. 1985. Akhak Nabi Muhammad saw. Jakarta :
Bulan Bintang.


Aziz, Rahmat, dkk. 2005. Research Book for Intermediate (Kumpulan
Makalah tentang Penelitian). Lembaga Kajian Penelitian
Pengembagan Mahasiswa UIN Malang.


Darajat, Zakiah, dkk. 1977. Pendidikan Agama Islam 2. Jakarta :
Aries Lima.


http//www.unhas.ac.id

Jamil, Abdul, dkk.2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta : Gama
Media.


KS, Muslich.2006. Moral Islam dalam Serat Piwulang Pakubuwana IV.
Yogyakarta : Global Pustaka Utama.


Mardalis, 1989. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal).
Jakarta: Bumi Aksara.


Masyhur, Kahar. 1987. Membina Moral dan Akhak. Jakarta: Kalam Mulia.

Masyhuri. 2006. Metodologi Penelitian (Modul). Universitas Islam
Negeri Malang.


rbp@rumahbelajarpsikologi.com

Redaksi Harian PELITA: redaksi@pelita.or.id

Sulistyorini, Dwi. 2001. Filologi. Departemen Pendidikan Nasional
Universitas Negeri Malang.


Suseno, Franz Magnis. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi
tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.


Tanojo, Boekhandel M. 1924. Serat Pamular.Solo.

Teguh Iman Prasetya » Blog Archive » RELIGI & RITUAL.htm